(Oleh : Fitrie Khairunnisa Hayasa)
Malam itu udara dingin menusuk tulangku, aku terdiam dalam diam, hanya
hembus napas dan bunyi detak jantungku yang kudengar bersamaan dengan bunyi jam
dindingku yang menunjukkan bahwa setiap detik waktuku telah kulewati dalam diam
malam itu. Aku terduduk dihadapan jendela kamarku yang menampakkan indahnya
langit malam, dihiasi bulan yang memancarkan sinarnya dan bintang-bintang
bertabur menambah indahnya kekuasaan Sang Maha Pencipta. Kupandangi dengan
seksama setiap bagian keindahan malam itu, hatiku tak henti mengucap asma-Nya,
berdzikir dan terus mengagungkan-Nya. Air mataku tak terasa membasahi kedua
mataku, jantungku semakin cepat berdetak, pikirku melambung jauh memikirkan
sesuatu namun entah apa, dalam hati diriku mengadu pada-Nya “Yaa Allah, indahnya hari ini untukku, aku
bersyukur atas semua nikmat dari-Mu, kini aku dapat menikmati indahnya malam
ini, namun mengapa hati ini seperti ada bagian yang kosong merasa seperti
kehilangan, merasa ada sesuatu yang membuatku merasa tak pantas untuk menerima
semua yang telah Engkau beri, merasa bahwa seharusnya tidak hanya aku yang
merasakan indahnya malam ini, apakah aku telah melupakan sesuatu? Tapi, apa
itu? Begitu kerasnya kah hatiku hingga aku melupakan sesuatu itu dan juga tidak
mengetahuinya? Begitu egois kah aku hanya memikirkan kebahagiaan hidupku saja
hingga aku melupakan sesuatu yang seharusnya bisa aku rasakan? Yaa Allah maafkanlah aku.”
Jam dinding dikamarku terus berdetak, menunjukkan waktu sudah pukul 11
malam. Udara semakin menusuk tulangku, hatiku masih merasa kehilangan sesuatu,
kini mataku sebam karena telah cukup lama aku menangis, menangisi rasa
kegelisahanku, kuputuskan untuk segera tidur agar aku dapat bangun di sepertiga
malam nanti, mencurahkan isi hatiku yang gundah ini kepada-Nya, bercengkerama
dengann-Nya dalam kekhusyukan. Kurapikan tempat tidurku, ku matikan lampu
kamarku, kutarik sehelai selimut tebal untuk mengurangi rasa dingin yang
menusuk tulangku, tiada henti hati, pikir dan lisanku mengucap asma-Nya, Subhanallah Walhamdulillah Wa Laa Ilaha
Ilallahu Allahu Akbar, berharap diriku bisa bertemu dengan-Nya di suatu
tempat yang indah dalam mimpiku, Aamiin,
akhirnya mataku terpejam dan diriku telah terlelap dalam tidur.
***
Seorang wanita paruh
baya dengan seorang anak kecil menghampiri diriku yang sedang terduduk di atas
sebuah batu di samping sungai yang mengalirkan airnya yang jernih, di
sekelilingnya dihiasi bunga-bunga yang cantik membuat hatiku sangat damai. Kini
wanita paruh baya dan anak itu semakin dekat menghampiri diriku, kulontarkan
senyum pada mereka dan mereka pun membalasnya dengan senyum yang sangat
menghangatkan hatiku. Semakin dekat dan semakin jelas kini ku melihat wajah
mereka, wajah wanita paruh baya itu sangatlah cantik dan bercahaya, tubuhnya
terlindungi dengan seuntai jilbab putih yang panjang begitu pula anak kecil itu
terlindungi dengan jilbab yang membuatnya terlihat seperti bidadari kecil, Subhanallah. Anak itu berlari kecil
menghampiriku, sesekali ia berbalik kepada wanita paruh baya itu untuk
mengisyaratkan agar bersegera dan mempercepat langkahnya, senyum simpul di
wajah keduanya tetap menghiasi, seolah tak ingin kehilangan senyumannya itu
untukku. Anak itu sampai terlebih dahulu di hadapku, matanya yang bulat
memancarkan sinar ketulusan, napasnya terengah-engah namun senyum simpul di
bibirnya tak hilang sedikitpun, ia memandangku dengan baik, begitupun aku
membalas memandangnya dengan penuh ketulusan. “Ibu, ayo cepat, aku sudah
sampai, aku sangat bahagia, ayo cepat Bu, kemari!.” Ternyata wanita paruh baya
itu adalah Ibu dari anak itu. Ibunya mempercepat langkahnya, hingga akhirnya
sampai dihadapanku, tepat disamping anak itu, napasnya terengah-engah namun
senyumnya tetap bertahan di wajahnya seolah tak ingin sedikitpun hilang dari
wajahnya, lalu keduanya mengucapkan salam “Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakaatuh”, suara keduanya lembut dan bergetar halus
namun penuh kesungguhan. Kujawab salam mereka dengan sepenuh hatiku “Wa’alaikumsalam Warahmatullahi
Wabarakaatuh,” dengan terus aku mempertahankan senyumku untuk keduanya.
Tanpa ragu anak itu memelukku dengan erat, pelukannya sungguh tulus
menghangatkan tubuhku, ia mencium keningku dan sembari mengelus kedua pipiku
dan semakin erat setelah itu ia memelukku. Lalu sang Ibu berkata “Sudah nak, kita harus bersegera, waktu kita
tidak banyak!,” suaranya yang lembut dan sedikit serak terlontar pada kami
yang sedang menikmati hangatnya pelukan itu. Ibunya tersenyum penuh harap
padaku, matanya menatap lembut diriku. Anak itu mengeluarkan sesuatu dari saku
bajunya, sebuah kertas coklat yang kusam tergulung rapi dengan terikat oleh
daun bambu yang sudah kering, ia meniup dan mengusap gulungan kertas itu dengan
lembut, seolah memastikan bahwa tidak ada debu di kertas itu, ia menatapnya
lalu memelukkan gulungan kertas itu kedadanya, mata bulatnya tertutup,
sepertinya ia sedang berdo’a dengan sangat penuh harap, lalu gulungan kertas
itu ia berikan padaku, tepat dihadapanku, ia berkata “Aku sangat percaya bahwa kau akan memahami dengan baik isi gulungan
kertas ini, aku percaya bahwa kau dapat menolongku, Ibuku, Ayahku, Kakak dan
Adikku, dan semua saudaraku, aku sangat bahagia bertemu denganmu, Allah telah
mengabulkan permohonan dalam do’aku, dan engkau adalah jawaban atas
permohonanku, engkau adalah seseorang yang sangat aku tunggu, seseorang yang
akan aku sayangi mulai hari ini hingga mungkin aku telah tiada nanti, karena
Allah lah aku bertemu denganmu, karena Allah lah juga aku percaya bahwa engkau
dapat menolongku, hanya karena Allah aku bisa menyampaikan ini padamu. Aku
mencintaimu karena Allah. Aku menunggumu, kini aku telah bertemu denganmu,
aku sampaikan ini padamu, aku harus
segera pergi untuk menyampaikan kepada yang lain, aku sangat menyayangimu,
meski aku tak bisa berlama-lama memelukmu dan bersamamu, tapi aku yakin Allah
akan mempertemukan aku dan kamu di tempat dan waktu yang terbaik.” Anak itu
lalu memelukku sangat erat, air matanya kurasakan membasahi baju lengan
kananku, Ibunya pun ikut memelukku dengan sangat lembut, air mataku tak
terbendung, kutertegun dalam pelukan yang sangat-sangat hangat itu. Perlahan
mereka melepas pelukannya dariku, mereka tersenyum sembari mengusap air mata di
pipi mereka. “Karena Allah pertemuan ini
terjadi, lakukanlah segala sesuatunya hanya karena Allah. Kami yakin engkau
dapat membantu kami dengan semua kemampuanmu dan dalam bentuk apapun yang
terbaik yang dapat engkau berikan, kami harus pergi, semoga Allah mengizinkan
kita bertemu kembali dimanapun dan kapanpun itu, aku mencintaimu karena Allah,”
anak kecil itu pun mengatakan kalimat yang diucapkan Ibunya diakhir secara
bersamaan, “Aku mencintaimu karena
Allah.” Ucapan itu sangat lembut dan menggetarkan hatiku, kubalas sepenuh
hatiku “Aku pun mencintai kalian karena
Allah”. Mereka tersenyum dan mengucapkan salam “Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,” berbalik dan
berjalan dengan penuh keyakinan, semakin cepat dan sesekali berbalik untuk
melihatku, tersenyum dan melambaikan tangan. Ingin rasanya aku mengikuti
mereka, namun semakin cepat mereka melangkah, semakin cepat dan terus semakin
cepat seolah aku tak dapat mengejarnya, kini sosok mereka seperti dua buah
titik yang sangat jauh, sosoknya hilang seperti siluet yang tenggelam di waktu
senja. Aku hanya terdiam, ditemani oleh matahari yang akan bersiap tenggelam
dalam senja, hening dan begitu tenang, air sungai yang bergemericik, hembusan
angin yang menghampiriku dan suara-suara binatang di senja itu bersatu menjadi
harmoni yang indah, sangat indah. Kupandangi gulungan kertas yang telah lama
kugenggam, hatiku tak mengerti apa maksud ini semua, diriku bertanya dalam hati
“Apa isi gulungan kertas ini? Mengapa
mereka memberikannya kepadaku?”. Perlahan kubuka dengan apik daun bambu
yang mengikat gulungan itu, aku tak ingin gulungan itu rusak sedikitpun, lalu
kubuka dengan perlahan gulungan kertas itu, ternyata itu adalah selembar kertas
yang sepertinya sudah cukup kotor dengan tulisan yang ditulis dengan tinta
hitam yang mungkin juga sudah hampir kering, namun masih bisa kubaca tulisan di
kertas itu dengan jelas, dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, kubaca
lembaran kertas itu:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Saudaraku yang baik hatinya, dimanapun kini engkau
berada. Semoga engkau dalam keadaan sehat dan baik, dalam keadaan iman yang
kuat, azzam yang kokoh dan hati yang selalu bersyukur. Begitupun dengan diriku,
aku selalu berusaha untuk menjaga kesehatan dan kondisiku, menjaga kekuatan
imanku, mengokohkan azzamku dan bersyukur selalu kepada-Nya, meski aku tahu ini
sangat sulit untukku, namun aku selalu berusaha untuk itu, karena mungkin
kondisiku kini berbeda denganmu, kini aku dalam kondisi yang sangat-sangat tak
pernah kubayangkan dalam pikirku.
Saudaraku yang baik hatinya, aku sudah cukup lama
menunggumu, menunggu untuk menyampaikan ini semua kepadamu, sejujurnya aku
berharap engkau yang akan dengan sendirinya mengetahui kondisiku dan saudaraku
disini yang mereka adalah saudaramu juga, tapi dirimu tak kunjung mengetahuinya,
mungkinkah engkau tidak tahu atau mungkinkah engkau tidak ingin tahu bagaimana
kondisi kami disini, aku tak tahu, yang terpenting sekarang adalah aku sudah
menemukanmu, menemukan orang yang sudah lama aku nanti, tak penting lagi apakah
engkau peduli atau tidak padaku dulu. Banyak yang ingin kuceritakan padamu,
sangat banyak, aku tahu mungkin ini tidak penting bagimu dengan berbagai macam
kesibukanmu yang kini sedang engkau jalani, tapi engkau harus tahu bahwa ini
penting untukku dan penting untuk saudaramu disini, aku mohon dengarkan semua
ceritaku, setelah itu aku tak peduli engkau akan menganggap ini penting ataukah
biasa saja, kuserahkan padamu.
Saudaraku yang baik hatinya, ceritaku dimulai
ketika aku merasa sedang berada dalam kondisi terbaikku, pagi itu seusai aku
sarapan, seperti biasa aku melakukan ritual yang penting untukku yaitu memeluk
dan mencium Ayah, Ibu, Kakak dan Adikku, mengucapkan kata “Aku sangat mencintai
kalian karena Allah, aku selalu ingin bersama kalian, do’akan agar aku bisa
menjadi seseorang yang bermanfaat untuk semua orang disekitarku,” dengan tersenyum
selebar mungkin dan tulus juga penuh kasih, aku tak ingin menyia-nyiakan
hariku, karena aku tak tahu sampai kapan aku bisa melakukan ritual ini kepada
mereka, engkau tahu bukan bahwa aku sangat menyayangi mereka? begitupun engkau
menyayangi Ayah, Ibu, Kakak dan Adikmu disana?.” Setelah itu aku memulai
aktivitasku, kuawali selalu dengan Bismillah, aku tak pernah melupakan
kebiasaan ini, karena ini adalah kebiasaan kita, kebiasaan yang utama yang kita
lakukan, apakah engkau melupakannya? aku harap engkau tidak melupakan kebiasaan
ini (aku tersenyum dan membayangkan indahnya senyummu pula). Lalu aku pergi ke
tempat dimana aku menuntut ilmu, tempat yang mungkin engkau juga memilikinya
disana, entah lebih bagus atau bagaimana kondisinya, aku tidak tahu, tapi yang
terpenting kita sama-sama untuk mencari ilmu untuk menjadi seseorang yang dapat
menegakkan agama Allah, apakah engkau ingat itu? prinsip hidup kita, “Kita
harus mencari ilmu untuk menegakkan agama Allah”, aku harap engkau tidak
melupakan hal ini pula. Aku sedang terduduk di meja belajarku, dengan penuh
kesungguhan aku belajar dan memperhatikan setiap apa yang guruku ajarkan
kepadaku, karena aku tidak mau tertinggal materi pelajaran sedikitpun, kurasa
engkau pun begitu disana, Tidak ingin meninggalkan materi pelajaranmu sedikitpun karena ingin menjadi yang terbaik, betul
kah begitu?. Namun mimpiku serasa akan berakhir di hari ini, di meja belajarku
ini, entah mengapa hari ini ada sesuatu yang berbeda dengan hatiku, sedari pagi
ada sesuatu yang membuatku tak enak, aku sangat takut, sangat takut..
Ketakutanku di hari ini ternyata terjadi,
tiba-tiba muncul bunyi desingan peluru yang sangat keras seolah menghancurkan
gendang telingaku, terdengar dari setiap sudut, suara menggelegar bom dan
runtuhnya dinding-dinding bangunan, teriakan seorang anak yang
memanggil ibu dan ayahnya, jeritan dan tangisan orang-orang yang mencari orang
yang dikasihinya, aku tak mengerti apa yang terjadi, apa sebenarnya yang terjadi, aku sungguh tidak tahu dan
tidak mengerti, ketakutan menyelimuti diriku, aku hanya bisa memejamkan mataku,
menangis sembari mengucap asma-Nya, aku takut, tubuhku dingin dan bergetar
hebat, suara-suara itu semakin keras, aku sungguh sangat takut. Brakkk!
Sepertinya sesuatu menghantam tubuhku, aku tak tahu mungkin itu reruntuhan
dinding, aku tidak ingin membuka mataku dan tidak ingin melihatnya, nyeri
terasa di seluruh tubuhku, semuanya hitam, gelap dan kelam, aku tak mengerti
apa ini. “Apakah ini adalah hari akhir itu? Apakah ini adalah hari dimana
Israfil meniupkan sangkakalanya?” aku tidak tahu. Tiba-tiba aku terbangun,
berusaha menguatkan seluruh jiwaku untuk melihat apa yang terjadi, rasa pusing
yang sangat hebat terasa di kepalaku, penglihatanku buram, hatiku berdebar
kencang, namun aku ingin tahu apa yang terjadi, perlahan kukumpulkan semua
kekuatan yang tersisa padaku, pada saat itu aku memohon kepada-Nya agar aku diberikan
kekuatan sebesar apapun agar aku bisa mengetahui apa yang terjadi, aku terus
berdo’a dan menguatkan diriku, namun aku sudah tak sanggup, rasanya mungkin aku
akan mati pada saat itu, namun muncul dipikirku wajah Ibuku, Ayahku, Kakak dan
Adikku, keluarga dan saudaraku yang sangat aku cintai, aku tersadar dan
terpikir bagaimana dengan mereka, bagaimana kondisi mereka, aku ingin melihat
mereka, aku ingin memeluk dan mencium mereka, aku ingin bersama mereka. Kau
tahu, Dia memang Sang Maha Penolong dan Maha Pemberi, aku merasakan kekuatan
yang begitu hebat, rasa sakitku seketika hilang, tubuhku yang lemah kini mulai
bangkit, kugerakan tubuhku dan kumulai menyingkirkan satu persatu reruntuhan
yang menindih tubuhku, aku dapat melihat semuanya dengan jelas, semua sahabatku
tergeletak tak berdaya tertindih oleh meja belajar dan reruntuhan gedung tempat
belajarku, tubuhnya penuh dengan darah, melihat itu aku hanya bisa menangis dan
tiada henti meminta kekuatan kepada-Nya. Kucoba panggil nama sahabat-sahabatku
berkali-kali, namun tak ada satu suarapun dari mereka, hanya gaungan suaraku
yang terdengar. Ku hampiri mereka dan kucoba mengangkat reruntuhan yang menutupi
tubuh mereka, namun tidak ada satupun dari mereka yang selamat, mereka sudah
tiada, sudah tiada... Sahabat-sahabat seperjuanganku telah pergi, aku telah
kehilangan mereka. Aku terus berteriak, mungkin akan ada yang menolongku, namun
tiada juga yang datang menolongku, longlonganku tak berarti, tapi aku tak
menyerah, karena yang aku inginkan pada saat itu adalah aku ingin bertemu
dengan keluargaku, aku terus berusaha menerobos reruntuhan dinding dihadapanku,
terlihat sesosok guru-guruku yang tak berdaya, ku hampiri namun mereka sudah
tiada, guru-guru yang mengajariku kini sudah pergi, aku hanya bisa menangis dan
terus menangis. Rasa ingin bertemu keluargaku semakin kuat, aku terus berjuang
untuk dapat menemui mereka, akhirnya aku dapat keluar dari reruntuhan gedung tempatku belajar itu, aku lihat
sekelilingnya, semua gedung hancur dan tiada berbentuk, semua orang di
sekitarku menangis, berteriak dan mencari-cari orang yang mereka sayangi, tiada
henti pula mereka menyebut asma-Nya, mayat bergeletakan dijalanan, berlumuran
darah dan bahkan ada yang tidak jelas bentuknya, bagian tubuhnya ada yang
hilang. Aku belum tahu apa yang terjadi, namun ku bergegas pulang kerumahku,
namun aku kesulitan mencari karena semua gedung di sekitar rumahku hancur, aku
sudah tak berdaya dan berpikir mungkin keluargaku telah tiada, namun aku tetap
berusaha untuk mencarinya, karena aku sangat menyayangi mereka, kau tahu itu
kan, aku sangat-sangat menyayangi mereka!. Akhirnya aku menemukan reruntuhan
rumahku, ku terjang reruntuhan rumahku, kucari keluargaku satu persatu, pertama
kutemukan sosok Ibuku tergeletak dengan tubuh yang tertutupi reruntuhan, aku tak kuasa menahan tangisku, Ibuku
yang sangat kucintai kini sudah tiada, aku telah kehilangan dia, perlahan aku
singkirkan reruntuhan itu, kuangkat Ibuku ke sesuatu tempat yang cukup bersih
dari reruntuhan, kuletakkan ia disana karena aku harus mencari yang lain.
Satu-persatu telah kutemukan, namun tiada yang selamat, Ayahku kutemukan dalam
keadaan tertimpa sebuah lemari buku dirumahku, Kakakku tertindih reruntuhan dan
tertusuk oleh kerangka besi tembok rumahku, adikku ia berada di samping tak
jauh dari kakakku, tubuhnya yang lemah karena masih bayi tertindih oleh tembok
yang cukup besar. Satu-persatu kubawa mereka ke tempat dimana Ibuku diletakkan,
aku sungguh sudah tidak kuat, aku menangis dan terus menangis, kupandangi satu
persatu wajahnya, kucermati setiap
bentuk tubuhnya, kupeluk dan kucium mereka satu persatu, dengan pelukan dan
ciuman yang seperti kulakukan di ritual pagiku. Kututup mereka dengan sehelai kain putih yang kotor,
dimana kain itu adalah sprei kasur Ibuku yang tersangkut di reruntuhan, aku
mendo’akan mereka dengan sepenuh hatiku, aku tak boleh bersedih dan meratapi,
aku harus berjuang kuat dan bersyukur karena Allah masih menghendaki nikmat
kehidupan untukku, mungkin agar aku bisa menolong saudara-saudaraku yang lain,
ya!, semua orang disini adalah keluargaku, saudaraku dan aku harus menolong
mereka. Dengan penuh keyakinan kutinggalkan jenazah Ibu, Ayah, Kakak, dan
Adikku, karena aku yakin Allah akan menjaganya, dan aku yakin bahwa aku akan
bertemu mereka di syurga nanti, aku tahu bahwa mereka pergi karena mereka akan
bertemu dengan-Nya, aku yakin itu. Lalu aku pergi untuk mencari tahu mengapa
ini terjadi, bagimana kondisi orang-orang di sekitarku, bagaimana kondisi
negaraku, dan bagaimana aku harus bertahan untuk menolong semua saudaraku.
Saudaraku yang baik hatinya, kini aku hidup
bersama saudara-saudaraku yang masih diberikan kesempatan hidup oleh-Nya, kami
hidup dalam kesederhanaan dan apa adanya. Mungkin memang kami harus bersyukur
dengan apa yang telah diberikan oleh-Nya akan nikmat hidup kami, namun
hehidupan yang kami jalani disini sekarang tidak seperti dulu lagi, hari-hari
kami dipenuhi dengan ketakutan dan kegelisahan,hari-hari kami diwarnai ancaman
dari tentara-tentara yang kami tidak tahu apa yang mereka inginkan, hari-hari
kami dihiasi dengan suara-suara desingan peluru, gelegar bom, mesin tank para
musuh, tangisan dan jeritan orang-orang yang kehilangan orang yang disayangi,
rintihan orang-orang yang sakit, lingkungan kami tidak indah seperti dulu, kini
di setiap sudut terlihat gedung-gedung telah hancur, dipinggir jalan tergeletak
banyak jenazah, lumuran darah sudah menjadi biasa untuk kami,
fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, toko penjual makanan, bahkan masjid
sekalipun hancur, kini kami tinggal hanya diatapi oleh kain-kain yang tersisa
di reruntuhan bangunan, pakaian kami pun sudah tak karuan, kami pakai apa yang
ada, yang paling sedih untuk kami adalah sulitnya untuk beribadah kepada Allah,
jangankan air untuk berwudhu atau mandi, untuk minum pun sudah susah, tapi kami selalu tak melupakan
shalat bagaimana pun kondisi kami karena kami yakin Allah Maha Meringankan,
kami juga sedih karena tidak bisa membaca al-qur’an seperti dulu karena
al-qur’an kami sudah hancur, hanya selebaran-selebaran saja itupun kami temukan
di reruntuhan bangunan. Terkadang kami berpikir bahwa kami menyesal tidak
memanfaatkan dengan baik hidup kami sebelum ini terjadi, sungguh sangat begitu
menyesal, tapi kami kini mengerti mungkin ini adalah peringatan dari-Nya. Aku
sudah tidak kuat untuk menceritakan kondisiku dan kondisi saudaraku disini,
yang terpenting untukku kini terus mendekatkan diri kepada Allah di setiap
detiknya, karena hanya dengan itu aku dan saudaraku disini kuat untuk
menghadapi hidup seperti ini, jika kau tahu banyak saudaraku yang gila dan
depresi akan kejadian ini, hingga akhirnya mereka bunuh diri yang merupakan
sesuatu yang tidak Allah sukai, tapi mereka lakukan karena mereka merasa bahwa
mereka sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi, mereka sudah tak memiliki masa
depan lagi, hingga akhirnya mereka memilih untuk melakukan hal yang mungkin
dianggap bodoh oleh orang-orang yang tidak merasakan hal ini, karena itu aku
selalu terus tiada henti berdo’a kepada-Nya karena hanya itu yang bisa
kulakukan untuk menguatkan aku dan menguatkan saudara-saudaraku disini. Kini
banyak Ibu yang kehilangan anak-anak dan suaminya, begitupun anak-anak yang
kehilangan ayah dan ibunya mereka yatim-piatu, begitupun aku yang sudah
kehilangan semua keluarga yang sangat aku cintai. Aku belum bisa percaya bahwa
ini terjadi, namun inilah yang terjadi, aku hanya yakin dan meyakinkan diriku
bahwa ini adalah skenario yang terbaik untuk jalan hidupku dan
saudara-saudaraku disini. Aku hampir lupa menceritakan apa penyebabnya
kepadamu, ini semua terjadi karena adanya perselisihan dan konflik antar kaum
dan adanya permasalahan politik yang aku pun tidak begitu mengerti, namun ya
begitulah, coba kau cari tahu mengapa ini terjadi, karena mungkin aku tidak
bisa memikirkannya, jangankan memikirkan penyebabnya, memikirkan apa yang harus
kulakukan dan menghadapi kondisi seperti ini saja aku tidak sempat, engkau
mengerti bukan?, aku hanya berdo’a bahwa jika memang ada orang yang ingin
menghancurkan negaraku dan agamaku, aku mohon kepada-Nya untuk membalas sesuai
dengan perbuatannya kelak di hari pertanggunggjawaban seluruh manusia
kepada-Nya.
Saudaraku yang baik hatinya, aku sungguh iri
kepadamu, negaramu yang dalam keadaan aman dan damai, disana engkau dapat
dengan baik dan tenang melakukan seluruh aktivitasmu. Engkau bisa belajar
dengan baik dan tenang, tidak sepertiku disini ketika belajar hatiku tidak
tenang dengan berbagai ancaman. Engkau mungkin masih bisa makan dengan enak,
nikmat, dan tenang hingga kenyang juga mudah untuk mendapatkannya, tidak
sepertiku disini untuk mendapatkan makanan perlu berjuang saling memperebutkan
walau itu hanya satu suap. Engkau masih memiliki Ayah, Ibu, Kakak, Adik,
Keluarga, tidak sepertiku disini yang sudah kehilangan Ayah, Ibu, Kakak, Adik
dan keluarga, bisa mencium dan memeluknya dan mengatakan “Aku sangat mencintai
kalian karena Allah” di setiap detiknya. Dan yang paling mebuatku iri adalah
ketika engkau dapat beribadah dengan baik dan khusyuk, shalat berjamaah di masjid,
membaca al-qur’an dengan baik dan al-qur’anmu bagus dan terjaga. Ah... Namun
tiada gunanya aku iri kepadamu, karena itu tidak dapat mengembalikan
kehidupanku ke masa dulu yang mungkin sepertimu saat ini. Jangan engkau
sia-siakan kehidupanmu saudaraku, teruslah bersyukur. Karena kita tidak tahu
apa yang akan terjadi di hari esok, lusa, dan seterusnya dan tidak selamanya
kehidupan itu sesuai dengan yang kita pikirkan juga inginkan, terbukti ketika
aku tidak pernah memikirkan bahwa
negaraku, Suriah akan menjadi seperti ini sekarang, tapi nyatanya semua ini
terjadi, bisa sajakah ini pun terjadi pada dirimu dan saudara-saudaramu di
negeramu? Wallahu’alam Bishawwab, hanya Allah yang Maha Tahu.
Saudaraku yang baik hatinya, aku menyempatkan
menulis surat untukmu agar suatu waktu jika engkau lupa akan kondisiku, aku
bisa mengingatkanmu, aku menyempatkan menulis ini di tempat pengungsianku
dengan diiringi suara-suara menakutkan itu, mungkin ada beberapa bercak darah
di lembar kertas ini, darah itu adalah darahku dan darah saudaraku, yang
merupakan saudaramu juga, karena aku menuliskan surat ini sembari menolong
saudara-saudara kita, meski aku tak tahu bagaimana cara mengirimkan surat ini
padamu, aku tak tahu apakah surat ini akan sampai padamu atau tidak, aku tak
tahu Aku menceritakan ini padamu agar engkau tahu inilah yang terjadi di
negaraku, sudah kukatakan padamu setelah membaca surat ini engkau menganggap
ini penting atau tidak, itu kuserahkan padamu, namun jika engkau menganggap ini
tidak penting, maka aku pikir justeru engkau yang sudah gila. Tidak banyak
harapanku aku hanya ingin semuanya berakhir, aku ingin negaraku kembali seperti
dulu yang mungkin ini sesuatu yang tidak mungkin namun harapan itu masih ada
aku yakin, mungkin engkau bisa berusaha untuk mewujudkan harapanku dan
saudara-saudaramu disini? Ah, aku pun tak bisa memaksamu untuk itu, jika memang
engkau mau, maka lakukanlah sesuai dengan kemampuanmu, yang terpenting adalah
seuntai do’amu untukku dan saudara-saudaramu disini, karena do’amu sangat
berharga untuk kami disini. Harapan terbesarku adalah engkau dapat berjuang
untuk menegakkan agama kita, Agama Islam dimanapun engkau berada dan
bersama-sama dengan saudaramu yang lainnya untuk mewujudkan itu, karena terlalu
kecil kemungkinanku untuk itu.
Sahabatku yang baik hatinya, mungkin ketika
setelah engkau membaca surat ini engkau akan berusaha mencariku, tak perlu
engkau lakukan itu, karena aku akan baik-baik saja dan jika aku memang aku
telah tiada, maka aku berharap telah syahid dijalan-Nya, Insyaallah. Karena aku
yakin meski aku tak bertemu denganmu di dunia ini, aku yakin bahwa kita akan
bertemu di syurga-Nya kelak. Jika engkau menangis setelah membaca surat maka
cukuplah engkau menangis sekejap, jangan terlalu lama engkau menangisi apa yang
telah aku ceritakan padamu akan kondisi negaraku, karena aku dan
saudara-saudaramu disini tak membutuhkan tangisanmu, kami butuh perjuangan dan
semangatmu untuk berusaha mewujudkan berbagai macam mimpi kami disini yang
tidak bisa kami capai. Jika setelah membaca surat ini engkau mengingat kami,
maka teruslah untuk mengingat kami, mengingatku dan saudara-saudaramu disini
juga saudara-saudara kita yang lain dimanapun mereka berada, jangan lupakan
kami, dan terus do’akan kami.
Saudaraku yang baik hatinya, simpanlah baik-baik
surat ini, jika ingin engkau berikan, maka berikanlah kepada mereka yang tidak
tahu atau mungkin tidak mau tahu tentang
kami, agar mereka mengetahui bagaimana kondisi kami, walaupun pada akhirnya
mereka akan peduli atau tidak. Ceritakan dan ingatkan saudara-saudara kita yang
lain bahwa saudara-saudaranya disini sedang dalam kondisi yang sangat-sangat
memerlukan bantuan dan perhatian walaupun hanya seuntai do’a dari mereka semua.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Suriah, 1433H
Saudaramu
yang Sangat mencintaimu
Tangisku tak terbendung. Kusimpan surat itu dalam kotak milikku,
kusimpan isi surat itu dalam hati dan pikirku. Senja itu adalah senja terindah
untukku, kurasakan semua makhluk bertasbih kepada Sang Maha Pencipta, Allah Subhanahuwata’ala.
***
Aku terbangun,
Subhanallah Walhamdulillah Wa Laa Ilaha
Ilallahu Allahu Akbar. Ternyata aku bermimpi, mimpi yang sungguh sangat
luar biasa, mimpi yang sangat-sangat berarti untuk hidupku, karena kini aku
tahu sesuatu yang hilang dalam pikirku, yaitu saudara-saudaraku dimanapun
mereka berada, aku telah lama melupakan mereka, aku hanya memikirkan hidupku
dan menikmati apa yang Allah berikan tanpa ingat akan saudara-saudaraku,
jangankan memberi sesuatu, mendo’akan ataupun mengingatnya saja aku tak pernah,
memang sungguh egois diriku. Tapi aku tahu bahwa kini aku tak boleh melupakan
mereka, aku harus selalu mengingat mereka, meski aku tak dapat memberi sesuatu
yang dapat mereka rasakan, namun untaian do’a yang terbaik adalah sesuatu yang
bisa aku berikan dimanapun aku berada. Aku bergegas untuk berwudhu, hati dan
pikirku sudah tak tertahan ingin mencurahkan semua ini kepada-Nya, memohon maaf
akan khilafku , merenungkan apa yang telah aku perbuat dan berdo’a untuk
saudara-saudaraku. Kini jiwaku telah merasa utuh, kekosongan dalam hatiku telah
terisi, diriku merasa harus sangat lebih bersyukur di setiap detik hidupku
dengan terus berusaha tetap Istiqamah di jalan-Nya dan mendekatkan diri
kepada-Nya.
“Saudaraku,
maafkan diriku yang pernah melupakanmu, kini engkau tak perlu takut, aku akan
selalu bersamamu, Innallah Ma’ana, Ia
akan selalu bersama kita, semoga aku dapat bertemu denganmu dan saudara-saudara kita yang lain di
syurga-Nya kelak. Aamiin”.
--FSLDK Baraya--