Minggu, 04 Maret 2012

Elegi Mutiara Jalanan

Segenggam rintik gerimis sore itu berhamburan memecah mozaik dan sketsa keangkuhan dunia. Ku merayap sejauh pandangan fatamorgana mengaburkan kemilau pelangi. Bersama sebuntal doa dari sahabatku, langkah ini ku bawa pada peraduan kekejaman zaman.
                                                                        ***
Pancaran sinar di pagi ini mengantarkanku pada potongan waktu di lampau itu. Suatu sore saat aku bersamanya di waktu senja.
hayu turun”, kita saling mengajak.
Kami menuruni bus kota tepat di perempatan Buah Batu, salah satu tempat di Kota Bandung. Dengan sedikit ragu kami mulai menyebrang jalan. Di emperan toko obat itu mereka biasa berkumpul selepas “ngamen”. Inilah dunia baruku. Dunia anak jalanan.
Entahlah...
Aku pun tak paham dengan apa yang mereka lakukan. Aku tak tahu dengan apa yang mereka pikirkan. Aku tak mengerti dengan segala misteri jalanan yang penuh dengan elegi.
                                                                        ***
“Heri! heboh sendiri. Heu...”, candaku pada sosok 12 tahun yang tengah mengisap sesuatu di balik buntalan kain. Lem ternyata.
Dia terkekeh ringan...
Beribu penyesalan menggumpal dalam benakku. Mereka menghisap lem sama saja dengan mereka bunuh diri. Bahan yang terkandung di dalamnya adalah bahan-bahan kimia yang berbahaya untuk syaraf. Dan alasan mereka klasik. Nahan laper lah, nahan malu lah dan seabreg alasan lain. Hei..! sadarlah adikku masa depanmu terlalu mahal hanya untuk sekedar ngelem di jalan!. Itulah perjuangan yang sulit saat membina anak jalanan. mengubah paradigma.
Senyuman ringannya membawaku pada satu waktu dimana dia mencurahkan segala penatnya. Aku duduk di pinggirnya, bersampingan menghadap rel kereta yang menyejarah.
Dari sudut matanya mengalir bulir-bulir bening menyiratkan segala kepedihan dan lara atas cobaan hidup yang dialami.
“Ibu Heri sekarang di Arab teh. Jadi TKW tapi ilegal”, ucapnya polos.
“Lha bapakmu kemana?”, tanyaku.
“Bapak ninggalin Heri udah lama. Tapi nggak apa-apa teh, dari pada Heri dipukulin terus sama bapak”, kisahnya.
Heri yang ku kenal adalah sebagai sosok adik yang rajin. Rasa ingin tahu dan semangatnya untuk belajar begitu besar. Sehingga dia pun cepat menyerap materi ketika belajar. Walaupun dengan fasilitas seadanya.
Aku terus menyimak elegi kehidupannya yang sarat makna.
“Heri juga dulu nggak mau jadi gelandangan kayak gini teh. Tapi heri kabur dari rumah nenek. Nenek galak”, lanjutnya mengalir.
“Hmm...jadi nenekmu masih ada”, timpalku datar.
“Iya tapi Heri gak mau pulang. Heri mau bebas...”, tuturnya dengan pandangan kosong.
Ya Rabb...anak seumuran dia tidak seharusnya menganggung beban hidup seberat ini. Keluarganya yang carut marut, kehidupan jalanan yang teramat liar dan sadis membuatku mengelus dada dan mereka-reka kira-kira apa yang bisa ku perbuat.
                                                                        ***
Di emperan toko obat itu..
Kami mulai melangkahkan kaki menghampiri kumpulan seniman jalanan itu. Itulah kali pertama kami terjun langsung untuk pendekatan dan pendataan anak jalanan. Setelah saling sapa, mba Iis menyampaikan maksud kedatangan kami.
Dengan tidak memberi harapan selangit dan kami jelaskan bahwa tidak banyak yang bisa kami lakukan untuk mereka. Tapi yang jelas niat kami tulus untuk perlahan bersama-sama mengubah keadaan mereka. Kami sadar itu memang tak mudah mereka terima. Yang ada dalam otak mereka adalah uang, uang dan uang. Maka ketika kami tawarkan untuk belajar, mereka hanya diam tanda tidak setuju.
“Nis, hayu ngisi ini”, kata mba Iis pada Anisa sebari menyodorkan selembar kertas pendataan.
Wajahnya tertunduk saat ibunya memberi suatu isyarat. Aku paham itu.
“Ayooo”, lanjut mba Iis ramah.
“Nggak mau ah, ntar dimarahin mamah. Terus nggak bisa nulisnya”, timpalnya tersipu malu.
“Oooh, ya udah sini teteh ajarin”, ajak akhwat srowberi itu.
Untuk hari pertama itu kami hanya mendapat data dua anak. Oooh, ternyata tidak mudah.
Akhirnya kami memutuskan untuk pulang dulu karena siang mulai menampakkan rona malamnya yang anggun.
                                                                        ***
Setelah beberapa bulan aku tak lagi singgah untuk membina anak jalanan ke rel kereta di Kiara Condong rumah “Keluarga” uniqku. Karena alasan pribadi yang maknanya masih ku cari hingga kini. Aku menjadi seperti terasing di sana.
Dalam angkot dan bus kota, ku amati sepanjang jalan. Mereka hadir melambaikan harapan dan menyeru memanggilku. Bahkan tak jarang lamunanku membuatku turun dari angkot terlalu jauh.
Aku putuskan untuk kembali  kepada adik-adikku.
                                                                        ***
“Apa-apan ini!!!”, gertak salah seorang berambut pirang dengan badan bertato.
“Ini kami dari FSLDK lagi ngadain pendataan uuun...”, jawab mba Iis dengan penjelasannya yang terperkosa.
“Saya ingetin ya teh, kami nggak mau kalau adik-adik kami di sini dimanfaatkan oleh kalian hanya untuk mendapatkan dana!”, ucapnya sangar memotong penjelasan mba Iis.
“Awas aja kalo mereka disuruh-suruh buat demo!”, tambahnya dengan mata melotot.
“Nggak kami cuma pengen ngadain pembelajaran di sini”, jawabku pendek.
Hoho...kami terjebak dalam situasi yang dilematis. “Ua-nya” anak jalanan di Buah Batu memergoki kami saat pendataan. Mau tidak mau kami harus berurusan dengannya sampai masalahnya bisa clear.
Ternyata salah strategi. Kami belum sempat meminta izin pada “empunya” jalan di sana. Parahnya kami nggak ngeh kalo dunia jalanan ternyata memang beda dengan dunia keseharianku selama ini.
Sungguh pelajaran yang teramat berharga untuk dilewatkan.
“Menurut hemat saya anak-anak nggak butuh belajar. Kalau waktu mereka buat belajar lalu dari mana kami dapet uang buat makan?”, tuturnya begitu diplomatis.
“Pokoknya teteh berdua jangan pulang dulu!”, anacamnya.
“Tapi udah malam, kami harus pulang”, pinta mba Iis.
“Nggak bisa! Sekarang silahkan kalian sholat dulu. Nanti ngobrol lagi di teras mesjid”, tawarnya.
?????
Aneh memang, preman jalanan ngizinin kita sholat?. Subhanallah..
                                                                        ***
Candra si kecil imut mengejar dan badannya yang sedikit gemuk bergelantungan di tangan kananku. Aku rindu suasana ini.
Teteh, kamana wae. Meni tara kadieu”, Tanya Candra dengan logat sundanya yang sedikit kasar.
Aya wae ah, Candra kumaha belajarna. Geus pinter can?”, tanyaku.
Entin, Wahyu, Heri, Feri dan kawan-kawan mengejarku.
“Teteh hayu urang diajar...”, pinta mereka.
Hmm...aku nggak bawa peralatan.
Ditemani Tika dan Rio, kami kebingungan. Sedangkan dari kejauhan sana, ibu dan bapak mereka memanggil-manggil nama anaknya masing-masing.
“Hei...anjing, ngamen siah!”, panggil bapak Candra dengan mengeluarkan bahasa “kebangsaannya”.
Dengan menggerutu kelihatan dia sangat marah saat tahu anak-anak akan belajar. Tapi anak-anak tetap keukeuh pengen belajar. Jadi bingung. Cari aman aja deh...Kami antarkan anak-anak itu mendekati jalan dan orang tua mereka. Apa daya, semua anak-anak tidak mau ngamen. Mereka bersembunyi di belakang kami bertiga.
Goblog maneh!”, cerca salah seorang ibu yang memarahi anaknya karena tak mau ngamen.
“Prayyy!”, di pinggir kami bapak Candra juga marah dan membanting gitar yang selama ini jadi sumber penghasilan mereka.
Kami bertiga berpandangan. Hmmm...”kayaknya kita cari aman dulu deeh”, kata Rio.
“Iya lah daripada nambah masalah dan jangan sampai jadi panjang masalahnya”, tambah Tika.
Kami memahamkan anak-anak. Mereka pun kelihatan takut setelah melihat kemarahan orang tuanya. Terpaksa minggu itu tak ada pembelajaran hanya say hai doang yang penting silaturahim tidak putus. Walaupun tidak jarang kami harus menggadaikan kenyamanan kami untuk anak-anak.
                                                                        ***
“Bisa bantuin kita nggak, ada preman yang nggak ngizinin kita pulang. Tadi pas pendataan dikiranya macem-macem”, mba Iis menghubungi salah seorang senior.
“Sekarang posisinya dimana? Santai aja. Nggak akan ada apa-apa, nanti ada yang kesana”, jawabnya menenangkan.
Kami keluar...
Setelah sholat preman itu sudah duluan duduk di teras mesjid bersama satu orang temannya.
“Haduuuuh lapeeer mbaa”, bisikku ke mba Iis.
Kami shaum dan belum buka saat itu.
“Oia, kenalin nama saya Slamet Riyadi panggil aja komet dan ini teman saya Ujang”
“Ukhti, sekarang bagaimana? Masih di tempat”, Akh Dendi menghubungi mba Iis.
“Sekarang kalian disana kalian tenang saja, kami siap kesana dengan membawa polisi”, lanjutnya.
“Hah!..nggak usah. Nanti juga ada yang mau kesini”, jawab mba Iis.
“Oooh, jadi gimana?”, tanyanya heran.
“Iya, nggak usah”, timpal mba Iis ringan.
Kita duduk melingkar. Posisiku dan mba Iis bagai dua terdakwa yang tak bisa berkutat.
            “Sueeeer gue laper banget”, batinku dalam hati.
Sekitar isya senior kami datang dengan beberapa orang. Mereka ngobrol ngalor-ngidul dengan Komet, sampai akhirnya menenukan kesepakatan bersama. Komet dan Ujang pamit.
“Besok-besok harus lebih hati-hati lagi”, ujar senior kami.
“Iyaaa...”, jawab kami serentak.
Saat akan pamit pulang. Senior kami melarang kami untuk pulang naik bus. Akhirnya ada dua orang yang siap mengantarkan kami. Aarrghh, kaya kebalik ditawannya bukan sama preman tapi sama senior.
                                                                        ***
Tiap pekan kita turun ke jalan untuk pembinaan di stasion Kiara Condong. Bukan tak punya kesibukan lain. Saya mahasiswa yang selalu disibukkan tugas kuliah. Saya juga punya keluarga yang mengharapkan kehadiranku di rumah. Saya juga butuh istirahat. Tapi nasib anak jalanan, calon generasi penerus bangsa juga menyita perhatianku. Walaupun pada awalnya pembinaan kami lakukan di perempatan Buah Batu. Namun ternyata disana sudah ada komunitas lain yang memegang.
Di stasion Kiara Condong kami membina mutiara-mutiara  jalanan sejak Juli 2010. Ada sekitar 30 anak binaan pada awalnya. Seiring berjalannya waktu kadang bertambah kadang berkurang. Biasalah seleksi alam.
“Nay, kemana aja uda lama nggak kelihatan di jalan”, tanyaku pada Nayla.
Seorang remaja berusia 16 tahun asal Bogor yang kerap menyayat tangannya menggunakan piasu.
“Aku pulang Kak, disuruh pulang dulu sama mamah”, jawabnya..
“Teh”, Nayla  memanggilku dan mengangkat lengan tangannya kedepan wajahku.
“MasyaAllah Nay, itu kenapa”, tanyaku kaget.
Tangannya merah-merah seperti bekas sayatan benda semacam silet atau pisau. Aku sampai ngilu melihatnya. Dia kerap bercerita, nggak betah tinggal di rumah.
            “Ini aku sayat pake silet”, timpalnya ringan.       
            “Kenapa Nay? Emang nggak sakit”, tambahku sambil meringis.
            “hmm, enggak ko teh. Nanti darahnya aku isep”, tuturnya santai.
            “Aku ditinggalin pacar aku teh, terus mamah sama bapak suka berantem mulu. Pusing tahu teh!”, tambahnya sedikit emosi.
            “Iya, ngerti. Tapi tahu nggak Nay. Itu tuh nggak boleh...”, ujarku merendah.
“Hmm..Nay tubuh kita ini kan titipan Allah...terus kalau kita rusak kayak gitu sama aja nggak bersyukur. Iya nggak?”, tambahku.
            “Iya teh”, Nay mengangguk pelan.
            “Teh Nay pengen pake kerudung kayak teteh doong”, pintanya menyambar hatiku yang masih khawatir dengan adikku yang satu ini.
            Aku tertunduk. Merambah dunia ide ku yang mengangkasa dan menakjubi apa yang diucapkan Nayla.
            Alhamdulillah. Aku bersujud...
                                                                        ***
            Komet. Sahabat baru ku di jalan. Kini dia tergolek lemah tak berdaya di bangsal putih Rumah Sakit Hasan Sadikin. Kami menungguinya bergantian. Nafasnya tersengal-sengal. Komplikasi yang dideritanya kini tidak lain dan tidak bukan karena kebiasaan buruknya selama bertahun-tahun hidup di jalanan.
            Ngelem. Minum-minuman keras. Panas kepanasan. Hujan kehujanan. Lalu siapa yang salah dari semua ini? Sungguh tak ada satu orang pun yang menginginkan hidup sengsara apalagi dengan kerasnya kehidupan liar jalanan. Lalu apa yang membuat mereka bertahan? Entahlah. Misteri, unique dan menggelikan.
            Tidak mudah memang membawa mereka untuk kembali hidup normal. Terlalu berharga mungkin, pendapatan yang mereka hasilkan tiap detiknya. Fantastis. Hanya dengan modal berani, tak perduli dengan rasa malu. Uang memang terkadang menjadi segalanya bagi manusia. Segalanya...
                                                                        ***
            Hmm...dalam terik panas itu aku mengusap keringat mengalir di dahiku. Sepeda merahku menemaniku berangkat menuju tempat pembinaan anak jalanan di Stasion Kiara Condong. Sepeda ontelku yang tua. Pancaran siang itu menghangatkan. Lelahnya lutut ini mengayuh. Sungguh semakin membuatku bersemangat.
            Namun, suatu hari pada ruangan yayasan itu aku tersentak. Dadaku mendadak sesak. Badanku bergidik dan suhu badanku mulai naik di tambah perut mual. Tak karuan. Semua berawal dari informasi bahwa akan di adakan penyuluhan kesehatan kepada anak-anak jalanan dari puskesmas Kiara Condong.
            Rabu itu aku datang dengan sumringah. Paling tidak adik-adikku yang tak pernah mendapatkan fasilitas kesehatan, bahkan ketika mereka sakitpun. Hanya menunggu sembuh itu datang dengan sendirinya. Kini ada yang memperhatikan.
            Tapi kemudian harapanku pupus. Setelah semuanya berkumpul dalam satu ruangan, menunggu dimulainya acara penyuluhan. Tak ku sangka. Hari itu tak ada penyuluhan. Tak ada penyuluhan kesehatan. Dari mana pun. Saat orang yang menghubungi kami bilang akan di adakan penyuluhan, dia datang dengan dua rombongan mobil. Saat turun, dia memperkenalkan diri.
            “Siang, itu pak pendeta. Yang masih muda calon pendetanya dan selebihnya para anggota dari gereja”, ungkap seorang ibu yang mengaku bekerja di puskesmas.
            Para anggota gereja itu berbondong-bondong membawa sekitar lima keresek besar berisi makanan, pakaian dan buku. Sungguh aku bukan fanatik. Tak juga sedang membeda-bedakan agama. Tapi sepanjang aku hidup bersama adik-adik di jalanan tak jarang kekurangan mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab.             Dengan segala kekurangan yang dimiliki ku yakin tak sedikitpun niat dalan diri untuk menjual akidah dan keyakinan mereka. Aku yakin itu. Aku yakin sangat yakin.
                                                                        ***
            Innalillahi wainnaillahi rajiun. Komet meninggalkan kami pada usia yang masih muda. Orang yang dulu sempat menjadi rival kami di jalanan ternyata tak sebejat yang kami bayangkan. Semua manusia sama mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik.
            Satu pesan darinya, “Teruslah membimbing adik-adik di jalan. Mereka pasti berubah lebih baik, suatu saat...”
            Kami sungguh tak membeda-bedakan. Baik yang di lampu merah Buah Batu maupun di Stasion Kiara Condong semua  adik-adik kami yang luar biasa.
            Satu kesedihan yang hingga sekarang tak terbantahkan adalah ketika ku tanya pada mereka tentang cita-cita masa depan. Mereka tertunduk. Malu. Pesimis. Terperkosa oleh tekanan pegangan hidup yang membelenggu jiwa.
            Bahkan mereka tak berani hanya untuk menyatakan, “Saya ingin berhenti jadi gelandangan”.
Kuatkan aku Rabb. Ku mohon...

                                                                                    Siti Patimah Desember 2011
Nama Pena : Sipat Sang Inspirator

0 comments:

Posting Komentar