Minggu, 15 Juli 2012

Sepucuk Surat dari Suriah

(Oleh : Fitrie Khairunnisa Hayasa)



Malam itu udara dingin menusuk tulangku, aku terdiam dalam diam, hanya hembus napas dan bunyi detak jantungku yang kudengar bersamaan dengan bunyi jam dindingku yang menunjukkan bahwa setiap detik waktuku telah kulewati dalam diam malam itu. Aku terduduk dihadapan jendela kamarku yang menampakkan indahnya langit malam, dihiasi bulan yang memancarkan sinarnya dan bintang-bintang bertabur menambah indahnya kekuasaan Sang Maha Pencipta. Kupandangi dengan seksama setiap bagian keindahan malam itu, hatiku tak henti mengucap asma-Nya, berdzikir dan terus mengagungkan-Nya. Air mataku tak terasa membasahi kedua mataku, jantungku semakin cepat berdetak, pikirku melambung jauh memikirkan sesuatu namun entah apa, dalam hati diriku mengadu pada-Nya “Yaa Allah, indahnya hari ini untukku, aku bersyukur atas semua nikmat dari-Mu, kini aku dapat menikmati indahnya malam ini, namun mengapa hati ini seperti ada bagian yang kosong merasa seperti kehilangan, merasa ada sesuatu yang membuatku merasa tak pantas untuk menerima semua yang telah Engkau beri, merasa bahwa seharusnya tidak hanya aku yang merasakan indahnya malam ini, apakah aku telah melupakan sesuatu? Tapi, apa itu? Begitu kerasnya kah hatiku hingga aku melupakan sesuatu itu dan juga tidak mengetahuinya? Begitu egois kah aku hanya memikirkan kebahagiaan hidupku saja hingga aku melupakan sesuatu yang seharusnya bisa aku rasakan?  Yaa Allah maafkanlah aku.”  
Jam dinding dikamarku terus berdetak, menunjukkan waktu sudah pukul 11 malam. Udara semakin menusuk tulangku, hatiku masih merasa kehilangan sesuatu, kini mataku sebam karena telah cukup lama aku menangis, menangisi rasa kegelisahanku, kuputuskan untuk segera tidur agar aku dapat bangun di sepertiga malam nanti, mencurahkan isi hatiku yang gundah ini kepada-Nya, bercengkerama dengann-Nya dalam kekhusyukan. Kurapikan tempat tidurku, ku matikan lampu kamarku, kutarik sehelai selimut tebal untuk mengurangi rasa dingin yang menusuk tulangku, tiada henti hati, pikir dan lisanku mengucap asma-Nya, Subhanallah Walhamdulillah Wa Laa Ilaha Ilallahu Allahu Akbar, berharap diriku bisa bertemu dengan-Nya di suatu tempat yang indah dalam mimpiku, Aamiin, akhirnya mataku terpejam dan diriku telah terlelap dalam tidur.
***
            Seorang wanita paruh baya dengan seorang anak kecil menghampiri diriku yang sedang terduduk di atas sebuah batu di samping sungai yang mengalirkan airnya yang jernih, di sekelilingnya dihiasi bunga-bunga yang cantik membuat hatiku sangat damai. Kini wanita paruh baya dan anak itu semakin dekat menghampiri diriku, kulontarkan senyum pada mereka dan mereka pun membalasnya dengan senyum yang sangat menghangatkan hatiku. Semakin dekat dan semakin jelas kini ku melihat wajah mereka, wajah wanita paruh baya itu sangatlah cantik dan bercahaya, tubuhnya terlindungi dengan seuntai jilbab putih yang panjang begitu pula anak kecil itu terlindungi dengan jilbab yang membuatnya terlihat seperti bidadari kecil, Subhanallah. Anak itu berlari kecil menghampiriku, sesekali ia berbalik kepada wanita paruh baya itu untuk mengisyaratkan agar bersegera dan mempercepat langkahnya, senyum simpul di wajah keduanya tetap menghiasi, seolah tak ingin kehilangan senyumannya itu untukku. Anak itu sampai terlebih dahulu di hadapku, matanya yang bulat memancarkan sinar ketulusan, napasnya terengah-engah namun senyum simpul di bibirnya tak hilang sedikitpun, ia memandangku dengan baik, begitupun aku membalas memandangnya dengan penuh ketulusan. “Ibu, ayo cepat, aku sudah sampai, aku sangat bahagia, ayo cepat Bu, kemari!.” Ternyata wanita paruh baya itu adalah Ibu dari anak itu. Ibunya mempercepat langkahnya, hingga akhirnya sampai dihadapanku, tepat disamping anak itu, napasnya terengah-engah namun senyumnya tetap bertahan di wajahnya seolah tak ingin sedikitpun hilang dari wajahnya, lalu keduanya mengucapkan salam “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh”, suara keduanya lembut dan bergetar halus namun penuh kesungguhan. Kujawab salam mereka dengan sepenuh hatiku “Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakaatuh,” dengan terus aku mempertahankan senyumku untuk keduanya. Tanpa ragu anak itu memelukku dengan erat, pelukannya sungguh tulus menghangatkan tubuhku, ia mencium keningku dan sembari mengelus kedua pipiku dan semakin erat setelah itu ia memelukku. Lalu sang Ibu berkata “Sudah nak, kita harus bersegera, waktu kita tidak banyak!,” suaranya yang lembut dan sedikit serak terlontar pada kami yang sedang menikmati hangatnya pelukan itu. Ibunya tersenyum penuh harap padaku, matanya menatap lembut diriku. Anak itu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, sebuah kertas coklat yang kusam tergulung rapi dengan terikat oleh daun bambu yang sudah kering, ia meniup dan mengusap gulungan kertas itu dengan lembut, seolah memastikan bahwa tidak ada debu di kertas itu, ia menatapnya lalu memelukkan gulungan kertas itu kedadanya, mata bulatnya tertutup, sepertinya ia sedang berdo’a dengan sangat penuh harap, lalu gulungan kertas itu ia berikan padaku, tepat dihadapanku, ia berkata “Aku sangat percaya bahwa kau akan memahami dengan baik isi gulungan kertas ini, aku percaya bahwa kau dapat menolongku, Ibuku, Ayahku, Kakak dan Adikku, dan semua saudaraku, aku sangat bahagia bertemu denganmu, Allah telah mengabulkan permohonan dalam do’aku, dan engkau adalah jawaban atas permohonanku, engkau adalah seseorang yang sangat aku tunggu, seseorang yang akan aku sayangi mulai hari ini hingga mungkin aku telah tiada nanti, karena Allah lah aku bertemu denganmu, karena Allah lah juga aku percaya bahwa engkau dapat menolongku, hanya karena Allah aku bisa menyampaikan ini padamu. Aku mencintaimu karena Allah. Aku menunggumu, kini aku telah bertemu denganmu, aku  sampaikan ini padamu, aku harus segera pergi untuk menyampaikan kepada yang lain, aku sangat menyayangimu, meski aku tak bisa berlama-lama memelukmu dan bersamamu, tapi aku yakin Allah akan mempertemukan aku dan kamu di tempat dan waktu yang terbaik.” Anak itu lalu memelukku sangat erat, air matanya kurasakan membasahi baju lengan kananku, Ibunya pun ikut memelukku dengan sangat lembut, air mataku tak terbendung, kutertegun dalam pelukan yang sangat-sangat hangat itu. Perlahan mereka melepas pelukannya dariku, mereka tersenyum sembari mengusap air mata di pipi mereka. “Karena Allah pertemuan ini terjadi, lakukanlah segala sesuatunya hanya karena Allah. Kami yakin engkau dapat membantu kami dengan semua kemampuanmu dan dalam bentuk apapun yang terbaik yang dapat engkau berikan, kami harus pergi, semoga Allah mengizinkan kita bertemu kembali dimanapun dan kapanpun itu, aku mencintaimu karena Allah,” anak kecil itu pun mengatakan kalimat yang diucapkan Ibunya diakhir secara bersamaan, “Aku mencintaimu karena Allah.” Ucapan itu sangat lembut dan menggetarkan hatiku, kubalas sepenuh hatiku “Aku pun mencintai kalian karena Allah”. Mereka tersenyum dan mengucapkan salam “Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,” berbalik dan berjalan dengan penuh keyakinan, semakin cepat dan sesekali berbalik untuk melihatku, tersenyum dan melambaikan tangan. Ingin rasanya aku mengikuti mereka, namun semakin cepat mereka melangkah, semakin cepat dan terus semakin cepat seolah aku tak dapat mengejarnya, kini sosok mereka seperti dua buah titik yang sangat jauh, sosoknya hilang seperti siluet yang tenggelam di waktu senja. Aku hanya terdiam, ditemani oleh matahari yang akan bersiap tenggelam dalam senja, hening dan begitu tenang, air sungai yang bergemericik, hembusan angin yang menghampiriku dan suara-suara binatang di senja itu bersatu menjadi harmoni yang indah, sangat indah. Kupandangi gulungan kertas yang telah lama kugenggam, hatiku tak mengerti apa maksud ini semua, diriku bertanya dalam hati “Apa isi gulungan kertas ini? Mengapa mereka memberikannya kepadaku?”. Perlahan kubuka dengan apik daun bambu yang mengikat gulungan itu, aku tak ingin gulungan itu rusak sedikitpun, lalu kubuka dengan perlahan gulungan kertas itu, ternyata itu adalah selembar kertas yang sepertinya sudah cukup kotor dengan tulisan yang ditulis dengan tinta hitam yang mungkin juga sudah hampir kering, namun masih bisa kubaca tulisan di kertas itu dengan jelas, dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, kubaca lembaran kertas itu:

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Saudaraku yang baik hatinya, dimanapun kini engkau berada. Semoga engkau dalam keadaan sehat dan baik, dalam keadaan iman yang kuat, azzam yang kokoh dan hati yang selalu bersyukur. Begitupun dengan diriku, aku selalu berusaha untuk menjaga kesehatan dan kondisiku, menjaga kekuatan imanku, mengokohkan azzamku dan bersyukur selalu kepada-Nya, meski aku tahu ini sangat sulit untukku, namun aku selalu berusaha untuk itu, karena mungkin kondisiku kini berbeda denganmu, kini aku dalam kondisi yang sangat-sangat tak pernah kubayangkan dalam pikirku.

Saudaraku yang baik hatinya, aku sudah cukup lama menunggumu, menunggu untuk menyampaikan ini semua kepadamu, sejujurnya aku berharap engkau yang akan dengan sendirinya mengetahui kondisiku dan saudaraku disini yang mereka adalah saudaramu juga, tapi dirimu tak kunjung mengetahuinya, mungkinkah engkau tidak tahu atau mungkinkah engkau tidak ingin tahu bagaimana kondisi kami disini, aku tak tahu, yang terpenting sekarang adalah aku sudah menemukanmu, menemukan orang yang sudah lama aku nanti, tak penting lagi apakah engkau peduli atau tidak padaku dulu. Banyak yang ingin kuceritakan padamu, sangat banyak, aku tahu mungkin ini tidak penting bagimu dengan berbagai macam kesibukanmu yang kini sedang engkau jalani, tapi engkau harus tahu bahwa ini penting untukku dan penting untuk saudaramu disini, aku mohon dengarkan semua ceritaku, setelah itu aku tak peduli engkau akan menganggap ini penting ataukah biasa saja, kuserahkan padamu.

Saudaraku yang baik hatinya, ceritaku dimulai ketika aku merasa sedang berada dalam kondisi terbaikku, pagi itu seusai aku sarapan, seperti biasa aku melakukan ritual yang penting untukku yaitu memeluk dan mencium Ayah, Ibu, Kakak dan Adikku, mengucapkan kata “Aku sangat mencintai kalian karena Allah, aku selalu ingin bersama kalian, do’akan agar aku bisa menjadi seseorang yang bermanfaat untuk semua orang disekitarku,” dengan tersenyum selebar mungkin dan tulus juga penuh kasih, aku tak ingin menyia-nyiakan hariku, karena aku tak tahu sampai kapan aku bisa melakukan ritual ini kepada mereka, engkau tahu bukan bahwa aku sangat menyayangi mereka? begitupun engkau menyayangi Ayah, Ibu, Kakak dan Adikmu disana?.” Setelah itu aku memulai aktivitasku, kuawali selalu dengan Bismillah, aku tak pernah melupakan kebiasaan ini, karena ini adalah kebiasaan kita, kebiasaan yang utama yang kita lakukan, apakah engkau melupakannya? aku harap engkau tidak melupakan kebiasaan ini (aku tersenyum dan membayangkan indahnya senyummu pula). Lalu aku pergi ke tempat dimana aku menuntut ilmu, tempat yang mungkin engkau juga memilikinya disana, entah lebih bagus atau bagaimana kondisinya, aku tidak tahu, tapi yang terpenting kita sama-sama untuk mencari ilmu untuk menjadi seseorang yang dapat menegakkan agama Allah, apakah engkau ingat itu? prinsip hidup kita, “Kita harus mencari ilmu untuk menegakkan agama Allah”, aku harap engkau tidak melupakan hal ini pula. Aku sedang terduduk di meja belajarku, dengan penuh kesungguhan aku belajar dan memperhatikan setiap apa yang guruku ajarkan kepadaku, karena aku tidak mau tertinggal materi pelajaran sedikitpun, kurasa engkau pun begitu disana, Tidak ingin meninggalkan materi pelajaranmu sedikitpun karena ingin menjadi yang terbaik, betul kah begitu?. Namun mimpiku serasa akan berakhir di hari ini, di meja belajarku ini, entah mengapa hari ini ada sesuatu yang berbeda dengan hatiku, sedari pagi ada sesuatu yang membuatku tak enak, aku sangat takut, sangat takut..

Ketakutanku di hari ini ternyata terjadi, tiba-tiba muncul bunyi desingan peluru yang sangat keras seolah menghancurkan gendang telingaku, terdengar dari setiap sudut, suara menggelegar bom dan runtuhnya dinding-dinding bangunan, teriakan seorang anak yang memanggil ibu dan ayahnya, jeritan dan tangisan orang-orang yang mencari orang yang dikasihinya, aku tak mengerti apa yang terjadi, apa sebenarnya yang terjadi, aku sungguh tidak tahu dan tidak mengerti, ketakutan menyelimuti diriku, aku hanya bisa memejamkan mataku, menangis sembari mengucap asma-Nya, aku takut, tubuhku dingin dan bergetar hebat, suara-suara itu semakin keras, aku sungguh sangat takut. Brakkk! Sepertinya sesuatu menghantam tubuhku, aku tak tahu mungkin itu reruntuhan dinding, aku tidak ingin membuka mataku dan tidak ingin melihatnya, nyeri terasa di seluruh tubuhku, semuanya hitam, gelap dan kelam, aku tak mengerti apa ini. “Apakah ini adalah hari akhir itu? Apakah ini adalah hari dimana Israfil meniupkan sangkakalanya?” aku tidak tahu. Tiba-tiba aku terbangun, berusaha menguatkan seluruh jiwaku untuk melihat apa yang terjadi, rasa pusing yang sangat hebat terasa di kepalaku, penglihatanku buram, hatiku berdebar kencang, namun aku ingin tahu apa yang terjadi, perlahan kukumpulkan semua kekuatan yang tersisa padaku, pada saat itu aku memohon kepada-Nya agar aku diberikan kekuatan sebesar apapun agar aku bisa mengetahui apa yang terjadi, aku terus berdo’a dan menguatkan diriku, namun aku sudah tak sanggup, rasanya mungkin aku akan mati pada saat itu, namun muncul dipikirku wajah Ibuku, Ayahku, Kakak dan Adikku, keluarga dan saudaraku yang sangat aku cintai, aku tersadar dan terpikir bagaimana dengan mereka, bagaimana kondisi mereka, aku ingin melihat mereka, aku ingin memeluk dan mencium mereka, aku ingin bersama mereka. Kau tahu, Dia memang Sang Maha Penolong dan Maha Pemberi, aku merasakan kekuatan yang begitu hebat, rasa sakitku seketika hilang, tubuhku yang lemah kini mulai bangkit, kugerakan tubuhku dan kumulai menyingkirkan satu persatu reruntuhan yang menindih tubuhku, aku dapat melihat semuanya dengan jelas, semua sahabatku tergeletak tak berdaya tertindih oleh meja belajar dan reruntuhan gedung tempat belajarku, tubuhnya penuh dengan darah, melihat itu aku hanya bisa menangis dan tiada henti meminta kekuatan kepada-Nya. Kucoba panggil nama sahabat-sahabatku berkali-kali, namun tak ada satu suarapun dari mereka, hanya gaungan suaraku yang terdengar. Ku hampiri mereka dan kucoba mengangkat reruntuhan yang menutupi tubuh mereka, namun tidak ada satupun dari mereka yang selamat, mereka sudah tiada, sudah tiada... Sahabat-sahabat seperjuanganku telah pergi, aku telah kehilangan mereka. Aku terus berteriak, mungkin akan ada yang menolongku, namun tiada juga yang datang menolongku, longlonganku tak berarti, tapi aku tak menyerah, karena yang aku inginkan pada saat itu adalah aku ingin bertemu dengan keluargaku, aku terus berusaha menerobos reruntuhan dinding dihadapanku, terlihat sesosok guru-guruku yang tak berdaya, ku hampiri namun mereka sudah tiada, guru-guru yang mengajariku kini sudah pergi, aku hanya bisa menangis dan terus menangis. Rasa ingin bertemu keluargaku semakin kuat, aku terus berjuang untuk dapat menemui mereka, akhirnya aku dapat keluar dari reruntuhan  gedung tempatku belajar itu, aku lihat sekelilingnya, semua gedung hancur dan tiada berbentuk, semua orang di sekitarku menangis, berteriak dan mencari-cari orang yang mereka sayangi, tiada henti pula mereka menyebut asma-Nya, mayat bergeletakan dijalanan, berlumuran darah dan bahkan ada yang tidak jelas bentuknya, bagian tubuhnya ada yang hilang. Aku belum tahu apa yang terjadi, namun ku bergegas pulang kerumahku, namun aku kesulitan mencari karena semua gedung di sekitar rumahku hancur, aku sudah tak berdaya dan berpikir mungkin keluargaku telah tiada, namun aku tetap berusaha untuk mencarinya, karena aku sangat menyayangi mereka, kau tahu itu kan, aku sangat-sangat menyayangi mereka!. Akhirnya aku menemukan reruntuhan rumahku, ku terjang reruntuhan rumahku, kucari keluargaku satu persatu, pertama kutemukan sosok Ibuku tergeletak dengan tubuh yang tertutupi reruntuhan, aku tak kuasa menahan tangisku, Ibuku yang sangat kucintai kini sudah tiada, aku telah kehilangan dia, perlahan aku singkirkan reruntuhan itu, kuangkat Ibuku ke sesuatu tempat yang cukup bersih dari reruntuhan, kuletakkan ia disana karena aku harus mencari yang lain. Satu-persatu telah kutemukan, namun tiada yang selamat, Ayahku kutemukan dalam keadaan tertimpa sebuah lemari buku dirumahku, Kakakku tertindih reruntuhan dan tertusuk oleh kerangka besi tembok rumahku, adikku ia berada di samping tak jauh dari kakakku, tubuhnya yang lemah karena masih bayi tertindih oleh tembok yang cukup besar. Satu-persatu kubawa mereka ke tempat dimana Ibuku diletakkan, aku sungguh sudah tidak kuat, aku menangis dan terus menangis, kupandangi satu persatu  wajahnya, kucermati setiap bentuk tubuhnya, kupeluk dan kucium mereka satu persatu, dengan pelukan dan ciuman yang seperti kulakukan di ritual pagiku. Kututup mereka dengan sehelai kain putih yang kotor, dimana kain itu adalah sprei kasur Ibuku yang tersangkut di reruntuhan, aku mendo’akan mereka dengan sepenuh hatiku, aku tak boleh bersedih dan meratapi, aku harus berjuang kuat dan bersyukur karena Allah masih menghendaki nikmat kehidupan untukku, mungkin agar aku bisa menolong saudara-saudaraku yang lain, ya!, semua orang disini adalah keluargaku, saudaraku dan aku harus menolong mereka. Dengan penuh keyakinan kutinggalkan jenazah Ibu, Ayah, Kakak, dan Adikku, karena aku yakin Allah akan menjaganya, dan aku yakin bahwa aku akan bertemu mereka di syurga nanti, aku tahu bahwa mereka pergi karena mereka akan bertemu dengan-Nya, aku yakin itu. Lalu aku pergi untuk mencari tahu mengapa ini terjadi, bagimana kondisi orang-orang di sekitarku, bagaimana kondisi negaraku, dan bagaimana aku harus bertahan untuk menolong semua saudaraku.

Saudaraku yang baik hatinya, kini aku hidup bersama saudara-saudaraku yang masih diberikan kesempatan hidup oleh-Nya, kami hidup dalam kesederhanaan dan apa adanya. Mungkin memang kami harus bersyukur dengan apa yang telah diberikan oleh-Nya akan nikmat hidup kami, namun hehidupan yang kami jalani disini sekarang tidak seperti dulu lagi, hari-hari kami dipenuhi dengan ketakutan dan kegelisahan,hari-hari kami diwarnai ancaman dari tentara-tentara yang kami tidak tahu apa yang mereka inginkan, hari-hari kami dihiasi dengan suara-suara desingan peluru, gelegar bom, mesin tank para musuh, tangisan dan jeritan orang-orang yang kehilangan orang yang disayangi, rintihan orang-orang yang sakit, lingkungan kami tidak indah seperti dulu, kini di setiap sudut terlihat gedung-gedung telah hancur, dipinggir jalan tergeletak banyak jenazah, lumuran darah sudah menjadi biasa untuk kami, fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, toko penjual makanan, bahkan masjid sekalipun hancur, kini kami tinggal hanya diatapi oleh kain-kain yang tersisa di reruntuhan bangunan, pakaian kami pun sudah tak karuan, kami pakai apa yang ada, yang paling sedih untuk kami adalah sulitnya untuk beribadah kepada Allah, jangankan air untuk berwudhu atau mandi, untuk minum pun sudah susah, tapi kami selalu tak melupakan shalat bagaimana pun kondisi kami karena kami yakin Allah Maha Meringankan, kami juga sedih karena tidak bisa membaca al-qur’an seperti dulu karena al-qur’an kami sudah hancur, hanya selebaran-selebaran saja itupun kami temukan di reruntuhan bangunan. Terkadang kami berpikir bahwa kami menyesal tidak memanfaatkan dengan baik hidup kami sebelum ini terjadi, sungguh sangat begitu menyesal, tapi kami kini mengerti mungkin ini adalah peringatan dari-Nya. Aku sudah tidak kuat untuk menceritakan kondisiku dan kondisi saudaraku disini, yang terpenting untukku kini terus mendekatkan diri kepada Allah di setiap detiknya, karena hanya dengan itu aku dan saudaraku disini kuat untuk menghadapi hidup seperti ini, jika kau tahu banyak saudaraku yang gila dan depresi akan kejadian ini, hingga akhirnya mereka bunuh diri yang merupakan sesuatu yang tidak Allah sukai, tapi mereka lakukan karena mereka merasa bahwa mereka sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi, mereka sudah tak memiliki masa depan lagi, hingga akhirnya mereka memilih untuk melakukan hal yang mungkin dianggap bodoh oleh orang-orang yang tidak merasakan hal ini, karena itu aku selalu terus tiada henti berdo’a kepada-Nya karena hanya itu yang bisa kulakukan untuk menguatkan aku dan menguatkan saudara-saudaraku disini. Kini banyak Ibu yang kehilangan anak-anak dan suaminya, begitupun anak-anak yang kehilangan ayah dan ibunya mereka yatim-piatu, begitupun aku yang sudah kehilangan semua keluarga yang sangat aku cintai. Aku belum bisa percaya bahwa ini terjadi, namun inilah yang terjadi, aku hanya yakin dan meyakinkan diriku bahwa ini adalah skenario yang terbaik untuk jalan hidupku dan saudara-saudaraku disini. Aku hampir lupa menceritakan apa penyebabnya kepadamu, ini semua terjadi karena adanya perselisihan dan konflik antar kaum dan adanya permasalahan politik yang aku pun tidak begitu mengerti, namun ya begitulah, coba kau cari tahu mengapa ini terjadi, karena mungkin aku tidak bisa memikirkannya, jangankan memikirkan penyebabnya, memikirkan apa yang harus kulakukan dan menghadapi kondisi seperti ini saja aku tidak sempat, engkau mengerti bukan?, aku hanya berdo’a bahwa jika memang ada orang yang ingin menghancurkan negaraku dan agamaku, aku mohon kepada-Nya untuk membalas sesuai dengan perbuatannya kelak di hari pertanggunggjawaban seluruh manusia kepada-Nya.

Saudaraku yang baik hatinya, aku sungguh iri kepadamu, negaramu yang dalam keadaan aman dan damai, disana engkau dapat dengan baik dan tenang melakukan seluruh aktivitasmu. Engkau bisa belajar dengan baik dan tenang, tidak sepertiku disini ketika belajar hatiku tidak tenang dengan berbagai ancaman. Engkau mungkin masih bisa makan dengan enak, nikmat, dan tenang hingga kenyang juga mudah untuk mendapatkannya, tidak sepertiku disini untuk mendapatkan makanan perlu berjuang saling memperebutkan walau itu hanya satu suap. Engkau masih memiliki Ayah, Ibu, Kakak, Adik, Keluarga, tidak sepertiku disini yang sudah kehilangan Ayah, Ibu, Kakak, Adik dan keluarga, bisa mencium dan memeluknya dan mengatakan “Aku sangat mencintai kalian karena Allah” di setiap detiknya. Dan yang paling mebuatku iri adalah ketika engkau dapat beribadah dengan baik dan khusyuk, shalat berjamaah di masjid, membaca al-qur’an dengan baik dan al-qur’anmu bagus dan terjaga. Ah... Namun tiada gunanya aku iri kepadamu, karena itu tidak dapat mengembalikan kehidupanku ke masa dulu yang mungkin sepertimu saat ini. Jangan engkau sia-siakan kehidupanmu saudaraku, teruslah bersyukur. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di hari esok, lusa, dan seterusnya dan tidak selamanya kehidupan itu sesuai dengan yang kita pikirkan juga inginkan, terbukti ketika aku tidak pernah memikirkan  bahwa negaraku, Suriah akan menjadi seperti ini sekarang, tapi nyatanya semua ini terjadi, bisa sajakah ini pun terjadi pada dirimu dan saudara-saudaramu di negeramu? Wallahu’alam Bishawwab, hanya Allah yang Maha Tahu.

Saudaraku yang baik hatinya, aku menyempatkan menulis surat untukmu agar suatu waktu jika engkau lupa akan kondisiku, aku bisa mengingatkanmu, aku menyempatkan menulis ini di tempat pengungsianku dengan diiringi suara-suara menakutkan itu, mungkin ada beberapa bercak darah di lembar kertas ini, darah itu adalah darahku dan darah saudaraku, yang merupakan saudaramu juga, karena aku menuliskan surat ini sembari menolong saudara-saudara kita, meski aku tak tahu bagaimana cara mengirimkan surat ini padamu, aku tak tahu apakah surat ini akan sampai padamu atau tidak, aku tak tahu Aku menceritakan ini padamu agar engkau tahu inilah yang terjadi di negaraku, sudah kukatakan padamu setelah membaca surat ini engkau menganggap ini penting atau tidak, itu kuserahkan padamu, namun jika engkau menganggap ini tidak penting, maka aku pikir justeru engkau yang sudah gila. Tidak banyak harapanku aku hanya ingin semuanya berakhir, aku ingin negaraku kembali seperti dulu yang mungkin ini sesuatu yang tidak mungkin namun harapan itu masih ada aku yakin, mungkin engkau bisa berusaha untuk mewujudkan harapanku dan saudara-saudaramu disini? Ah, aku pun tak bisa memaksamu untuk itu, jika memang engkau mau, maka lakukanlah sesuai dengan kemampuanmu, yang terpenting adalah seuntai do’amu untukku dan saudara-saudaramu disini, karena do’amu sangat berharga untuk kami disini. Harapan terbesarku adalah engkau dapat berjuang untuk menegakkan agama kita, Agama Islam dimanapun engkau berada dan bersama-sama dengan saudaramu yang lainnya untuk mewujudkan itu, karena terlalu kecil kemungkinanku untuk itu.

Sahabatku yang baik hatinya, mungkin ketika setelah engkau membaca surat ini engkau akan berusaha mencariku, tak perlu engkau lakukan itu, karena aku akan baik-baik saja dan jika aku memang aku telah tiada, maka aku berharap telah syahid dijalan-Nya, Insyaallah. Karena aku yakin meski aku tak bertemu denganmu di dunia ini, aku yakin bahwa kita akan bertemu di syurga-Nya kelak. Jika engkau menangis setelah membaca surat maka cukuplah engkau menangis sekejap, jangan terlalu lama engkau menangisi apa yang telah aku ceritakan padamu akan kondisi negaraku, karena aku dan saudara-saudaramu disini tak membutuhkan tangisanmu, kami butuh perjuangan dan semangatmu untuk berusaha mewujudkan berbagai macam mimpi kami disini yang tidak bisa kami capai. Jika setelah membaca surat ini engkau mengingat kami, maka teruslah untuk mengingat kami, mengingatku dan saudara-saudaramu disini juga saudara-saudara kita yang lain dimanapun mereka berada, jangan lupakan kami, dan terus do’akan kami.

Saudaraku yang baik hatinya, simpanlah baik-baik surat ini, jika ingin engkau berikan, maka berikanlah kepada mereka yang tidak tahu atau mungkin tidak mau  tahu tentang kami, agar mereka mengetahui bagaimana kondisi kami, walaupun pada akhirnya mereka akan peduli atau tidak. Ceritakan dan ingatkan saudara-saudara kita yang lain bahwa saudara-saudaranya disini sedang dalam kondisi yang sangat-sangat memerlukan bantuan dan perhatian walaupun hanya seuntai do’a dari mereka semua.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
                                                                                                            Suriah, 1433H

                                                                                                Saudaramu yang Sangat mencintaimu
Tangisku tak terbendung. Kusimpan surat itu dalam kotak milikku, kusimpan isi surat itu dalam hati dan pikirku. Senja itu adalah senja terindah untukku, kurasakan semua makhluk bertasbih kepada Sang Maha Pencipta, Allah Subhanahuwata’ala.
***

           
Aku terbangun, Subhanallah Walhamdulillah Wa Laa Ilaha Ilallahu Allahu Akbar. Ternyata aku bermimpi, mimpi yang sungguh sangat luar biasa, mimpi yang sangat-sangat berarti untuk hidupku, karena kini aku tahu sesuatu yang hilang dalam pikirku, yaitu saudara-saudaraku dimanapun mereka berada, aku telah lama melupakan mereka, aku hanya memikirkan hidupku dan menikmati apa yang Allah berikan tanpa ingat akan saudara-saudaraku, jangankan memberi sesuatu, mendo’akan ataupun mengingatnya saja aku tak pernah, memang sungguh egois diriku. Tapi aku tahu bahwa kini aku tak boleh melupakan mereka, aku harus selalu mengingat mereka, meski aku tak dapat memberi sesuatu yang dapat mereka rasakan, namun untaian do’a yang terbaik adalah sesuatu yang bisa aku berikan dimanapun aku berada. Aku bergegas untuk berwudhu, hati dan pikirku sudah tak tertahan ingin mencurahkan semua ini kepada-Nya, memohon maaf akan khilafku , merenungkan apa yang telah aku perbuat dan berdo’a untuk saudara-saudaraku. Kini jiwaku telah merasa utuh, kekosongan dalam hatiku telah terisi, diriku merasa harus sangat lebih bersyukur di setiap detik hidupku dengan terus berusaha tetap Istiqamah di jalan-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya.
“Saudaraku, maafkan diriku yang pernah melupakanmu, kini engkau tak perlu takut, aku akan selalu bersamamu, Innallah Ma’ana, Ia akan selalu bersama kita, semoga aku dapat bertemu denganmu  dan saudara-saudara kita yang lain di syurga-Nya kelak. Aamiin”.

--FSLDK Baraya--

0 comments:

Posting Komentar